Relasi Muhammadiyah Terhadap Konsep Negara Pancasila

Oleh : Fatoni Andi Mohamad, S.Pd
(Sekretaris Umum Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Bulu Sukoharjo)
Sejak awal didirikan pada 18 November 1912 oleh KH.Ahmad Dahlan, Muhammadiyah sudah menjadi kekuatan nasional sebagai organisasi yang telah menggoreskan tinta sejarah dalam memajukan bangsa dan negara. Dimasa kolonialisme Belanda, penindasan, kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan menjadi potret kondisi masysarakat Indonesia pada saat itu. Sebagai gerakan sosial keagamaan, Muhammadiyah hadir membantu kaum dhuafa dan mustadh’afin dengan mendirikan banyak amal usaha yang bermanfaat bagi umat seperti mendirikan sekolah untuk tempat belajar para masyarakat pribumi, selain itu Muhammadiyah juga mendirikan pusat pelayanan kesehatan dengan nama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dan masih banyak lagi amal usaha Muhammadiyah yang didedikasikan untuk umat.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Muhammadiyah telah berdiri 33 tahun sebelum Indonesia merdeka, maka dari itu Muhammadiyah dipandang sebagai salah satu diantara pilar utama yang memberi sumbangsih besar dalam proses peletakan pondasi kemerdekaan negara Indonesia. Keterlibatan tokoh Muhammadiyah yang berperan besar dalam kemerdekaan dan perumusan dasar negara adalah Ki Bagus Hadikusumo.
Ki Bagus Hadikusumo merupakan tokoh Muhammadiyah perwakilan nasionalis Islam yang menjadi anggota BPUPKI dengan peran besarnya dalam perumusan dasar negara Indonesia. Apabila kita menengok kembali catatan sejarah kemerdekaan negara Indonesia, peran Ki Bagus Hadikusumo terlihat saat terjadi perbedaban tentang perumusan dasar negara. Perdebatan tersebut muncul ketika terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok nasionalis Islam. Kelompok nasonalis kebangsaan memiliki pendapat bahwa dasar negara Indonesia adalah persatuan kebangsaan dari seluruh elemen, ras, suku, bangsa. Sedangkan pada kelompok nasionalis Islam memiliki pendapat bahwa dasar negara Indonesia berdiri berdasarkan syariat Islam.
Untuk meredam perdebatan yang ada, pada tanggal 1 Juni 1945 dibentuklah panitia kecil berjumlah 8 orang, salah satu anggota dari panitia kecil tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo. 8 (delapan) orang yang tergabung dalam panitia kecil tersebut memiliki tugas mengindentifikasi usulan dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang BPUPKI. Panitia 8 (delapan) ini membahas adanya perbedaan pendapat tentang rumusan dasar negara Indonesia. Pendapat tersebut diantaranya kelompok nasionalis Islam yang menghendakai negara Indonesia berdasarkan syariat Islam, sedangkan kelompok nasionalis kebangsaan menghendaki negara tidak berdasarkan hukum agama tertentu. Setelah masa sidang pertama itu, apa yang dinamakan panitia kecil dari panitia BPUPKI melanjutkan tugasnya di Jakarta. Soekarno, Hatta, Soetardjo, KH.Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandardinata, M. Yamin, dan Maramis adalah anggota-anggota panitia kecil ini. Dan anggota-anggota ini juga mendesak agar Indonesia merdeka diproklamasikan secepat mungkin.
Dalam hal ini, perbedaan pendapat antar kelompok nasionalis kebangsaan dan nasionalis Islam mengenai rumusan dasar negara Indoensia semakin memuncak. Upaya untuk memecahkan masalah tersebut dilakukanlah pembentukan Panitia 9 (sembilan) yang beranggotakan Soekarno, Moh. Hatta, Yamin, A.A. Maramis, Achmad Subardjo, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Wachid Hasyim. Upaya ini bertujuan agar deklarasi kemerdekaan Indonesia bisa dipercepat.
Hasil rapat Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945 dapat mencapai kesepakatan antara kalangan Nasionalis Islam dan Nasionalis Kebangsaan. Panitia Sembilan berhasil merumuskan Pancasila yang merupakan persetujuan antara kedua belah pihak. Rumusan Pancasila itu dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Isi Piagam Jakarta antara lain:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknnya,
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah penetapan piagam Jakarta nampaknya permasalahan dalam perumusan dasar negara Indonesia belum juga terpecahkan. Beberapa tokoh merasa keberatan atas hasil rumusan dasar negara Indonesia yang didalamnya terdapat tujuh kata yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Hal ini dikarenakan apabila tidak ada penghapusan tujuh kata yang terdapat dalam sila pertama tersebut, dikhawatirkan wilayah-wilayah Indonesia bagian timur yang memiliki pendudukan mayoritas non muslim akan melepaskan diri dari negara Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, diadakanlah sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk mentapkan UUD beserta muqadimah dan persoalan lain yang diusulkan oleh para anggota sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Saat sidang tersebut berlangsung, Mohamad Hatta menyampaikan beberapa usulan diantaranya perubahan pada Piagam Jakarta yaitu tentang tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Ki Bagus Hadikusumo yang menjadi pemegang kunci utama dalam perrumusan dasar negara tetap kokoh dengan pendiriannya, beliau menghendaki dimasukkannya persuasi kewajiban menjalankan syariat Islam dalam sistem konstitusi negara dan tidak mau menghapus 7 (tujuh) kata yang ada dalam sila pertama tersebut. Ki Bagus Hadikusumo merupakan ketua Umum PP Muhammadiyah yang kharismatik dan banyak disegani oleh kalangan muslim dan kalangan nasionalis. Barangkali faktor tersebut yang menyebaban Ir.Soekarno dan Drs.Mohamad Hatta segan meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo secara langsung untuk menghapus 7 (tujuh) kata dalam Piagam Jakarta. Untuk itu Panitia Sembilan mengirim utusan khusus yaitu Mr.Teuku Muhammad Hasan yang bertanggung jawab untuk menyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, namun proses negosiasi tersebut tidak berjalan mulus, Ki Bagus Hadikusuma masih keberatan apabila “7 (tujuh) kata” dalam Piagam Jakarta dihilangkan.
Ditengah negosiasi yang mengalami kebuntuan dan tidak menemukan kata mufakat, dalam jeda waktu yang singkat Kasman Singodimedjo mencoba membujuk Ki Bagus Hadikusumo. Memang tidak dipungkiri bahwa Kasman Singodimedjo sudah mempunyai kedekatan secara idiologi dengan Ki Bagus Hadikusumo karena mereka berdua adalah seorang kader Muhammadiyah. Selain itu kegigihan dan argumentasi logis dari Kasman Singodimedjo berhasil menyakinkan Ki Bagus Hadikusumo agar merelakan penghapusan “7 (tujuh) kata” dalam Piagam Jakarta. Kasman Singodimedjo membenarkan bahwa istilah “Ketuhanan yang Maha Esa” adalah amandemen yang berasal dari usulan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknnya.” Pada saat itu Ki Bagus Hadikusumo menafsirkan “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai bentuk afirmasi konsep tauhid dalam kemasan yang lebih mudah diterima oleh kelompok nasionalis kebangsaan dan kelompok non Islam. Sikap Ki Bagus Hadikusumo yang rela mengalah ini didasari karena melihat negara Indonesia yang baru saja merdeka itu membutuhkan semangat untuk bangkait sebagai negara yang bebas dari penjajahan.
Akhirnya Penerimaan Ki Bagus Hadikusumo telah mempermudah rapat sidang resmi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Sidang terakhir PPKI menerima dengan suara bulat tentang perubahan redaksional Piagam Jakarta. Rumusan akhir Pancasila tersebut berisi sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kelapangan hati Ki Bagus Hadikusumo menghapus “7 (tujuh) kata” dalam Piagam Jakarta merupakan kebesaran hati yang luar biasa. Peran Ki Bagus Hadikusuma selama proses perumusan Pancasila merupakan bukti bahwa umat Islam terlibat aktif memberi sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara. Bisa dikatakan pancasila adalah hadiah besar yang diberikan oleh umat Islam kepada negara Indonesia, Bagi Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusuma merupakan teladan praktik hidup berbangsa. Beliau telah memberikan pedoman cara mengamalkan Islam dengan kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara dalam komunitas majemuk yang terdapat berbagai agama, suku, ras, dan budaya.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 yang bertepatan pada 18-22 Syawwal 1436 Hijriyah bertepatan 3-7 Agustus 2015 di Makassar, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengesahkan konsensus “Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah” yang didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi seperti Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir di Samarinda tahun 2014.
Muhammadiyah memiliki pandangan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yag merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Konsep Negara Pancasila sebagai dasar negara Indonesia adalah negara yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa. Pancasila bukanlah sebuah agama/kepercayaan, namun substansi yang terkandung dalam pancasila sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk. Pada butir-butir Pancasila terkandung nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang memadukan nilai-nilai religius dan humanis, hubungan individu dan masyarakat, kerakyatan dan permusyawaratan, serta keadilan dan kemakmuran. Dengan demikian maka umat Islam Indonesia sebagai kekuatan mayoritas dapat menjadi teladan dalam membangun konsep Negara Pancasila menuju negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Muhammadiyah berpandangan bahwa konsep negara pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah yang terdiri atas kata (dar al-‘ahdi) memiliki makna kesepakatan/konsensus nasional. Berdirinya Negara Kesatuan Republ
ik indonesia (NKRI) yang berdasar pancasila merupakan kesepakatan seluruh elemen bangsa dari berbagai macam agama, suku, ras, dan budaya. Sedangkan (dar al-syahadah) memiliki makna sebagai kesaksian/pembuktian bahwa umat Islam harus berperan aktif dalam mengamalkan pancasila yang didalamnya selaras dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Selain itu sebagai (dar al-syahadah), umat Islam harus siap bersaing (fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik.
Perlu kita ketahui bahwa Muhammadiyah bersama seluruh kekuatan elemen Islam dan masyarakat Indonesia berperan aktif dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka dari itu sebagaimana yang terkandung dalam Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH) yang merupakan Keputusan Tanwir pada tahun 1969 di Ponorogo, bahwa “Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdaar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil makmur yang diridhai Allah SWT : “BALDATUN THAYYIBATUN WA RABBUN GHAFUR”.