Gentrifikasi dan Pergulatan Hidup pada Kawasan Solo Baru (Part 1)

 Gentrifikasi dan Pergulatan Hidup pada Kawasan Solo Baru (Part 1)

Siapa yang tak tahu Kawasan Solo Baru? Wilayah itu pasti tidak asing di telinga masyarakat yang tinggal di Kota Surakarta dan sekitarnya. Mungkin, ada diantara kita yang pernah mengunjunginya, atau bahkan tinggal di Kawasan Solo Baru.

Memang, Kawasan Solo Baru telah menjelma menjadi area perkotaan yang penuh dengan properti mewah nan elit.  Mal, hotel, restoran, kafe, hingga objek wisata water boom mudah dijumpai pada daerah pinggiran Kota Solo ini. Bukan hanya itu, ada beberapa pusat bisnis, seperti perusahaan multifinance, sorum kendaraan bermotor hingga bank (Meidinata, 2021).  Perumahan mewah juga tersebar pada Kawasan Solo Baru dengan sebutan sektor pada setiap kompleksnya.

Namun, kota mewah yang lengkap tersebut tak dapat dikatakan hanya sekedar pembangunan kota biasa. Sebab, sebetulnya banyak konsekuensi yang muncul dari pembangunan kota yang massif pada Kawasan Solo Baru. Terlebih, wajah peremajaan ruang pada pinggiran Kabupaten Sukoharjo tersebut terhitung lengkap dengan properti yang ‘dimainkan’ oleh investor internasional pemilik brand ternama sekelas Hotel Grand Marcure, outlet makanan Burger King, Pizza Hut, hingga Mc Donald. Ada pihak yang amat diuntungkan dari kehadiran properti elit tersebut, namun banyak yang sebetulnya juga ditumbalkan dari gemerlapnya kemewahan Solo Baru.

Kehadiran Gentrifikasi Pada Kawasan Solo Baru 

Sebenarnya properti mewah dan komersial yang mudah dijumpai pada setiap sudut wilayah Solo Baru belum berlangsung lama. Sebelum berkembang menjadi perkotaan, Kawasan Solo Baru merupakan daerah agraris dengan mayoritas peduduknya petani (L. Rahmayana, 2016).

Namun, daerah yang berada pada perbatasan Kota Surakarta tersebut hanya membutuhkan waktu tak lebih dari tiga dekade untuk bertransformasi ruang menjadi sesak dengan bangunan mewah dan peruntukkan komersial.

Awal mulanya, wilayah ini berkembang setelah perusahaan developer besar bernama PT Pondok Solo Permai menguasai lahan seluas lebih dari 200 Hektar pada tahun 1986-1987 di empat desa yang kini dikenal dengan sebutan Solo Baru tersebut. PT. Pondok Solo Permai (PSP) menjadi pengembang pertama dengan memunculkan gagasan penciptaan kota baru, karena memiliki lahan yang luas (Nurbismo, 2010). Perusahaan ini menjadi ‘peletak batu pertama’ dengan mengembangkan sebagian lahan yang dimilikinya menjadi area properti mewah berupa kompleks perumahan dan beberapa peruntukkan ritel.

Namun, saat ini bukan hanya PSP yang menjadi developer properti pada kawasan Solo Baru. Perusahaan kontruksi lain, seperti CV. Griya Bina, Sarana Bangun Pratama, PT. Solo Baru Griya Jaya, dan PT. SCG Readymix Indonesia tercatat menjadi berbagai pengembang perumahan pada bagian selatan Kota Surakarta tersebut (Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Sukoharjo, 2021).

Hasilnya, perumahan mewah menjadi salah satu lanskap yang memadati ruang Kawasan Solo Baru.  PT. Pondok Solo Permai sendiri memiliki 10 sektor dan 7 cluster perumahan yang masih ditawarkan di Kawasan Solo Baru. Perumahan sistem cluster lebih mengarahkan untuk memberikan pilihan kepada konsumen terhadap jaminan keamanan bagi penghuninya (Nurbismo, 2010).

Tidak berhenti pada properti hunian, transformasi ruang terus berlanjut dengan banyak bermunculan peruntukkan komersil berjenis perdagangan-jasa di Kawasan Solo Baru hingga sekarang. Dalam kurun waktu hanya 12 tahun saja, Kawasan Solo Baru banyak mengalami alih fungsi yang sebelumnya non-komersil menjadi lahan komersil. Tercatat pada jangka tahun 2002 hingga 2014, alih fungsi lahan pada kawasan Solo Baru sebesar 143, 71 Ha (Dwi, 2015).

Bahkan, lima diantara 9 pusat perbelanjaan di Kabupaten Sukoharjo, ber’status’ berada pada Kawasan Solo Baru (Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, 2021). Restoran mewah, mini market, dealer kendaraan bermotor hingga perusahaan asuransi juga mudah ditemui pada Kawasan Solo Baru.

Transformasi kawasan Solo Baru tersebut jelas dan tak diragukan lagi telah terjangkit fenomena yang sedang menyebar di seluruh dunia bernama ‘gentrifikasi’. Makna gentrifikasi sebetulnya beragam didefinisikan oleh para ahli, karena keterkaitannya dengan perubahan kawasan yang dinamis dan tidak hanya menyinggung ruang fisik, namun juga masalah sosial budaya yang menjadikannya sebagai permasalahan yang kompleks (Nur, 2015).

Namun, ada ciri-ciri yang mudah ketika gentrifikasi sudah sampai di suatu daerah. Tatkala fasilitas dan pelayanan komoditas yang tak mudah dijangkau oleh seluruh kalangan, dengan jenis properti mewah yang diperjualbelikan pada setiap sudut kotanya, maka bisa dipastikan gentrifikasi sudah menjadi bagian dari wilayah itu. Lahan dan pemukiman kota melalui kompetisi pasar properti dirubah dengan prinsip ‘Higest and Best Use’, yakni penggunaan lahan yang optimal untuk memaksimalkan keuntungan (Lees. L, 2018).

Gentrifikasi menjadi proses perubahan lingkungan yang sebelumnya dianggap kurang produktif dan cenderung kumuh (Lees, L. 2008). Lebih spesifik, gentrifikasi merujuk pada perubahan area hunian dan lahan kosong di wilayah perkotaan yang umumnya dihuni masyarakat miskin kota menjadi kawasan elit yang terdiri dari properti mewah hunian kelas menengah dan properti untuk tujuan komersil, seperti kompleks pertokoan, sarana akomodasi, maupun perkantoran (Lopez-Morales, 2015).

Ancaman Tanpa Hunian dan Nilai Properti yang Membumbung Tinggi

Transformasi pesat dengan properti mewah nan elit pada kawasan Solo Baru, tak bisa dilihat hanya sekedar perkembangan kota biasa. Terlebih, gentrifikasi pada beberapa desa di Kecamatan Grogol itu berkembang dengan kondisi awal berupa wilayah yang hanya persawahan dan ladang kosong berubah menjadi bagaikan kota idaman.

Seperti peremajaan kota lainnya, luas wilayah yang tetap dengan permintaan tak terbatas membuat harga lahan dan properti pada Kawasan Solo Baru terus membumbung tinggi. Pada salah satu desa pada Kawasan Solo Baru bernama Gedangan, rata-rata harga propertinya telah mencapai 6-7 jt per meter persegi, jika yang berada di pinggir jalan raya bisa lebih tinggi. Harga tanah termahal terdapat pada sepanjang Jl. Ir Soekarno, mulai dari Simpang Empat Pandawa hingga Patung Soekarno.

Memang, penawaran mahal tak membatasi semua orang untuk membeli atau menyewa sebuah properti. Namun, nilai yang mencapai puluhan juta permeter tentu tak mungkin buruh pabrik berupah UMR Rp. 2.138.00,00 di Kabupaten Sukoharjo yang membelinya. Gentrifikasi bukan hanya sekedar transformasi stok perumahan maupun lahan di kawasan perkotaan, ini lebih erat berkaitan dengan pergeseran yang dihasilkan dalam pertarungan kelas merebutkan properti yang dihasilkan (Zhang, 2018).

Tak mengherankan, properti yang berada di pinggir jalan utama Solo Baru maupun tempat strategis untuk berbisnis dimiliki oleh perusahaan multinasional, sekelas Pizza Hut, Hartono Mall, KFC, The Park Mall, Sorum kendaraan merk Harley Davidson, Best Western dan brand investasi ternama lainnya. Sebab, properti mahal yang ditawarkan memang hanya investor kaya yang mampu menjangkaunya.

Tak hanya itu, seperti hukum pasar pada umumnya, karena telah mengeluarkan biaya produksi yang tinggi, mereka juga menawarkan produknya dengan harga yang tinggi pula. Sekedar sarapan roti dan minuman pada outlet makanan cepat saji bernama King Burger saja, konsumen harus membayar uang sebesar 64 ribu rupiah. Belum lagi, jika ingin menyewa kamar pada apartemen pada Kawasan Solo Baru yang minimal seharga 3 Juta. Kalau bukan dari kalangan kelas menengah-atas maupun keluarga ‘mapan’, tentu tak bakal mampu menyewanya.

Alhasil, properti mewah pada Kawasan Solo Baru membentuk kawasan ‘elit’ dengan golongan berduit yang menikmatinya. Ruang hidup yang nyaman bagi kelas menengah-atas yang mampu menjangkau penawaran harga propertinya.

Namun, peremajaan ruang itu sebetulnya juga menumbalkan kelas menengah – ke bawah dengan ancaman tak dapat mengikuti biaya hidup di lingkungan yang terlanjur elit. Termasuk, risiko masa depan mereka yang tanpa tempat tinggal (tunawisma), karena tak mampu menjangkau harga pasar properti yang terus melejit tinggi. Masyarakat kelas menengah ke-bawah tengah bergulat melawan properti dan harga konsumsi yang terus membumbung tinggi yang dihadirkan di Kawasan Solo Baru.    

Ditulis oleh:

Amirudein Al Hibbi

Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika

Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Nguter 

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *